Hai ilalang….!!
Aku ingin bercerita padamu (sapaku acuh). “apa kau mau mendengarkan
ceritaku kali ini??” kuharap kau mau
mendengarnya, karna aku hampir tak pernah menceritakan keluh kesahku kepada
teman-teman ku… aku lebih suka mengajak alam berbicara, karena alam memberiku
ketenangan tersendiri.
Apa kau tau?? hari ini pikiranku
terbang melayang kemana-mana. Tanpa jeda. Seolah dunia itu hanya selembaran
kertas berpetak yang luasnya tidak seberapa. Kuyakini saja seperti itu.
Pikiran bercabang ternyata tidak
selamanya buruk, begitu yang kurasakan. Hanya saja, bikin otak cepat mati beku.
Andai raga ini mampu membelah diri menjadi beberapa bagian seperti halnya
bakteri atau amoeba, mungkin kisah hari ini akan berbeda. Tapi apa iya
sedemikian murahnya hidup hingga mau saja bertukar kehidupan dengan mahkluk
yang tidak bisa terlihat tanpa bantuan alat tersebut?
Apa iya itu artinya aku haruslah
bersyukur dan menerima saja semua hal ini tanpa protes?, karena masing-masing
manusia memiliki proses yang naik-turun dan rumit untuk dihadapi.
Benarkah!! setiap kesedihan akan
terbayar dengan kebahagiaan setelahnya, dan berlaku juga sebaliknya? Wow,
sungguh luar biasa! Selalu ada saja hal yang dibayar sesudahnya. Ada akibat,
ada sebab. Hidup pun menjadi penuh dengan tawar-menawar. Adegan demi adegan dilakukan
demi bayaran sesudahnya.
Tunggu,tunggu… memangnya siapa aku
ini, seenak jidat memetaforakan kehidupan. Tidak hanya bakteri ataupun amoeba, manusia
pun sama hinanya untuk saling mencela. Aku hanya semakin melihat hampir lebih
dari separuh pemandangan yang ada di depan mata adalah permasalahan manusia
menghadapi kebutuhannya, yang selalu bertambah, dan tiada habisnya. Berkejaran
dengan waktu, karier, kesempatan, pencapaian, dan tentu saja semua hal itu
adalah karena masalah kebutuhan. Terkadang aku berpikir, uang itu bisa menjadi
jahat sekali ya. Ketika dia mampu merampas waktu yang kita miliki bersama
dengan orang-orang yang kita kasihi. Ketika hanya dengan memilkinya kita mampu
mengubah dunia serasa jadi milik kita. Lantas bagaimana dengan yang tidak
memilikinya? Tidak selamanya jahat memang, mungkin aku saja yang berlebihan.
Tapi apapun itu, sekilas aku tahu, bahwa ada harga mahal yang lagi-lagi harus
dibayar untuk bisa mendapatkan “benda” itu, entah apapun alasan kebutuhannya.
Aku sebenarnya penasaran, siapa sih awal mula pencetus ide mata uang ini? Siapa
sih yang membuat dirinya menjadi Pengatur Ekonomi Pasar Dunia? Kenapa tidak
hidup macam barter saja seperti zaman purba dulu. Dunia damai dan tentram itu
yang bagaimana?Yang seperti apa? Itu saja yang jadi pertanyaanku sepanjang
tulisan ini kutarikan. Apakah hanya orang-orang yang realistis saja yang memang
benar, melihat dengan kacamata pandangnya bahwa dunia damai tentram itu adalah
mustahil dan khayalan. Sungguhkah itu? Ahh…, obrolan ini jadi ngelantur
kemana-mana. Dunia sudah gelap-terang. Tapi, masih banyak yang berlindung di
bawah remang-remang. Mencari remang-remang bukan urusan gampang. Karena
remang-remang selalu saja bikin gampang. Lebih baik aku menjadi rumput ilalang
saja, selalu hidup penuh kebebasan. Tak takut sinar mentari yang panas dan
menyengat, tak takut diinjak, tak takut mati. Hidup apa adanya, sambil berteman
dengan tiupan angin. Sungguh, sepertinya itulah damai yang kucari.
0 komentar:
Posting Komentar